Jambiotoritas.com, JAKARTA – Kasus desa fiktif untuk mendapat dana desa di Sulawesi Tenggara (Sultra) diduga hanya puncak gunung es dari persoalan dana desa. Persoalan dana desa telah terjadi bertahun-tahun dan menjerat ratusan kepala desa lantaran diduga mencuri uang yang seharusnya bisa dimanfaatkan bagi warganya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat terdapat sekitar 212 kades yang ditetapkan sebagai tersangka selama tiga tahun atau periode 2016-2018.
“Sudah saya sampaikan pada 2016 -2017 ada 110 kepala desa. Tahun 2018 akhir kita catat sampai dengan Desember, itu ada sampai dengan 102 tersangka. Berarti sudah 212 kepala desa jadi tersangka dalam kurun waktu tiga terakhir,” kata Peneliti ICW, Tama S Langkun ditemui di Gedung Edukasi dan Antikorupsi, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (8/11/2019).
ICW mengindentifikasi sedikitnya ada 15 modus korupsi terkait dana desa. Modus-modus yang terjadi terkait dana desa banyak yang terbilang “tradisional”. Dipaparkan, pola korupsi dana desa di antaranya, memakai modus proyek fiktif, dan double budget untuk suatu kegiatan. Bahkan, lanjut Tama, ada pola yang lebih tradisional lagi, yakni modus pinjam namun tak dikembalikan.
“Dari ratusan perkara yang sudah ada itu kami sudah mencatat 15-an pola korupsi. Misalnya ada salah satu atau oknum-oknum di pemerintahan desa yang pinjam uang menggunakan uang dana desa, tetapi tidak dikembalikan. Tentu itu jadi temuan di kemudian hari. Ini pola-pola yang sangat mudah kita jumpai,” kata Tama.
Tama menilai celah terjadinya korupsi dana desa mulai dari proses kebijakan hingga minimnya pengawasan. Aparat penegak hukum, yakni KPK, Kejaksaan Agung dan Polri harus meningkatkan pengawasan dana agar penyimpangan terkait dana desa tidak terus berulang.
“Tentu bicara soal pengawasan, bagaimana pengawasannya? Dari mulai anggaran tersebut keluar dikucurkan sampai diterima, dan juga bagaimana anggaran itu dikelola,” katanya.
Sejalan dengan itu, Tama menyatakan pemerintah juga harus segera berbenah menyelesaikan persoalan ini dan membangun sistem pencegahan korupsi. Hal ini penting lantaran terdapat puluhan triliun rupiah yang dialokasikan pemerintaha untuk anggaran dana desa setiap tahunnya. Sementara, berdasarkan temuan ICW masih ada Kepala Desa yang tak mampu mengelola anggaran dan tidak mengerti membuat laporan pertanggungjawaban, sehingga menjadi temuan aparat penegak hukum di kemudian hari.
“Tentu yang diperkuat itu adalah fungsi pengawasan di pemerintah. Yang ke kedua yakni peran serta masyarakat. Kami harapkan masyarakat di desa melek akan dana desa. Harus paham bagaimana anggaran desa tersebut bergulir untuk digunakan. Dan yang terpenting kami harapkan ada upaya peningkatan kapasitas dari kepala desa itu sendiri,” katanya. (red JOS)
Sumber : Suara pembaruan