JambiOtoritas.com, TEBO – Keberadaan desa Pematang Sapat dalam Hak Guna Usaha (HGU) PTPN 6 unit usaha rimbo satu di kecamatan Rimbo Bujang kabupaten Tebo, Jambi terus mendapat sorotan. Bahkan sebahagian pihak mempersepsikan desa itu, seperti desa ‘siluman’ yang tak memiliki wilayah administrasi secara independen. Meskipun pemerintah desa Pematang Sapat telah mengantongi kode desa di kementrian dalam negeri. Namun fakta berkata lain, Pematang Sapat tak memiliki wilayah adminstrasi sebentuk peta administrasi desa.
Hal itu terungkap dalam hearing lintas komisi I dan II DPRD kabupaten Tebo, bersama manajemen PTPN 6 unit Rimsa, dinas PMD, camat Rimbo Bujang dan perwakilan aktivis, pada Senin (9/1/2023) siang. Ironisnya, pihak PTPN 6 Rimsa menyebutkan bahwa berdirinya desa Pematang Sapat merupakan usulan manajemen PTPN 6 ketika pemerintahan kabupaten Bungo Tebo. Baru kemudian sekitar tahun 2002 terjadi pemekaran wilayah menjadi kabupaten Bungo dan kabupaten Tebo. Desa ini masuk ke wilayah kabupaten Tebo hingga sekarang.
“ Semula tujuannya untuk memudahkan urusan administrasi bagi karyawan PTPN 6 sendiri. Sekarang ini masyarakat desa itu, ada sekitar 80 persen adalah karyawan PTPN 6 dan pensiunan yang menempati rumah-rumah dinas disana. Jadi kami juga mempertimbangkan dari sisi kemanusiaan untuk para pensiunan ini,” jelas personalia PTPN 6 unit Rimsa, Ratna Julia Sitanggang.
Menurut Ratna Sitanggang, soal isu corporate Social responsibility (CSR) untuk desa Pematang Sapat lebih diperhatikan bahkan lebih, dari desa – desa yang berada disekitarnya. Setiap tahun ada pembagian sembako sebagai bentuk kepedulian perusahaan dengan masyarakat desa.
“ Kalau CSR kaitannya dengan kesejahteraan masyakakat pematang Sapat sebagai karyawan sudah menjadi tanggungjawab perusahaan PTPN 6. Setiap desa kami berikan Sembako, selagi mereka minta kita berikan,” katanya.
Manajemen PTPN 6 mengakui bahwa setiap proyek pembangunan fisik yang dilakukan dari penggunaan anggaran dana desa DD/ADD hanya mendapatkan persetujuan dari perusahaan dari tingkat direksi. Perusahaan tidak akan memberikan ruang untuk memberi wilayah administrasi secara mutlak atau melepas HGU kepada pemerintah desa Pematang Sapat.
“ Desa dan BUMN sama-sama punya negara, untuk itu harus ada perundingan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Jadi kami ingin damai dan nyaman. PTPN 6 tidak bisa melepas lahan HGU perusahaan kepada desa Pematang Sapat ini. Karena masalah ini harus dibicarakan pada tingkat kementrian. Kalau mau dilepas, pertanyaan kami, masyarakatnya yang mana.” kata dia.
Sementara itu sekelumit persoalan legal standing desa Pematang Sapat yang dibahas dalam hearing itu mengarah kepada legalitas formal dan tanggungjawab kepatuhan PTPN 6 sendiri terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hanya saja, pihak PTPN 6 tidak bisa memberikan penjelasan dengan alasan tidak memahami aturan dan itupun merupakan kewenangan direksi PTPN.
“ Kami juga meminta penjadwalan RDP lanjutan dengan meminta DPRD menghadirkan OPD terkait seperti dinas perijinan, Perkebunan dan intansi pertanahan kabupaten Tebo. Karena didalam undang-undang pokok agraria dinyatakan pembangunan fasilitas umum di dalam HGU perusahaan adalah tanggungjawab mutlak pemegang ijin HGU (PTPN). Tidak dibenarkan apabila pemegang HGU memberikan ijin atau memfasilitasi pihak lain memanfaatkan wilayah kawasan HGUnya tanpa ijin kementrian KLHK,” kata Romi Faisal.
Ketua komisi I Karno DPRD kabupaten Tebo mengatakan pihaknya sebelumnya tidak mengerti keberadaan masalah yang terjadi di desa Pematang Sapat. Oleh karena dewan meminta pemerintah kabupaten membentuk tim penilai desa untuk melakukan kajian dan penilaian terhadap desa ini. Dewan akan menjadwal kembali RDP lanjutan membahas isu-isu sensitif dengan melibatkan OPD teknis pemerintah kabupaten Tebo.
“ ini menjadi pekerjaan rumah komisi I dan komisi II, kami minta kades melengkapi data penduduk, profil desa dan laporan penggunaan dana desa. Nanti hasil RDP ini akan kami bawa kementrian desa dan kementrian dalam negeri,” ujar Karno. (JOS)
Editor : David Asmara