JAMBI, jambiotoritas.com – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil berkukuh tak mau membuka data Hak Guna Usaha (HGU) sebagai informasi publik. Sofyan berdalih langkahnya tersebut untuk melindungi industri sawit.
Ia mengatakan, industri sawit telah memberikan pekerjaan serta pendapatan bagi banyak petani di Indonesia. Industri sawit juga merupakan sumber pendapatan negara yang cukup besar. Berdasarkan data Kementerian Pertanian luas lahan sawit di Indonesia pada 2017 mencapai 12,3 juta hektar.
Maka itu, ia menilai pembukaan data HGU sebagai informasi publik dapat membahayakan kepentingan nasional. “Kepentingan nasional itu industri sawit,” kata dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (6/3/2019).
Publik yang ingin mendapatkan dokumen HGU harus mengikuti prosedur yang selama ini berlaku, yaitu mengajukan permintaannya kepada kementerian. Kemudian, membayar biaya yang akan tercatat sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dengan prosedur tersebut, kepentingan dari orang yang meminta data HGU dapat diketahui. “Ini basisnya dulu kenapa dan apa kepentingannya?” kata dia.
Sofyan pun siap bila ada pihak yang ingin melaporkan dirinya ke penegak hukum karena belum juga membuka data HGU. Sebab, ia meyakini tindakannya tersebut sudah tepat.
Desak Kementerian Agraria Buka Data HGU
Sejumlah pihak mendorong Kementerian Agraria untuk membuka data HGU sebagai informasi publik. Terlebih, sudah ada putusan Mahkamah Agung (MA) terkait hal itu. Putusan dengan nomor register 121 K/TUN/2017 tersebut terbit pada 2017 lalu.
Organisasi jaringan pemantau hutan Forest Watch Indonesia (FWI) pun membuka opsi untuk melaporkan Kementerian Agraria ke Bareskrim Mabes Polri lantaran belum menjalankan putusan tersebut. Opsi lainnya, mengadukan kasus ini kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga eksekusi putusan bisa segera dilaksanakan.
Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI Mufti Barri mengatakan eksekusi putusan Mahkamah itu penting untuk menyelesaikan banyak persoalan hutan dan lahan. Sebab, berbagai masalah hutan dan lahan kerap terjadi di kawasan HGU.
Berbagai masalah itu terkait tumpang tindih perizinan, konflik lahan berkepanjangan, hingga tingginya ancaman kehilangan hutan alam di Indonesia. “Ketertutupan HGU telah menimbulkan persoalan pada pemanfaatan hutan dan lahan,” kata dia di Jakarta, Senin (4/3/2019) lalu.
Sementara itu, Direktur Advokasi Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Arman Moehammad menyatakan tertutupnya data HGU menjadi pintu masuk penyebab perampasan wilayah adat. Banyak kawasan adat yang tiba-tiba ditetapkan menjadi kawasan hutan negara atau diberikan izin konsesi.
Masyarakat adat, kata Arman, baru mengetahui kalau kawasannya telah berpindah status setelah didatangi alat berat atau ada larangan beraktivitas.
“Masyarakat adat tidak pernah tahu
bagaimana proses penetapan wilayah adat menjadi kawasan hutan negara atau diberikan kepada konsesi,” kata dia.
Hal tersebut kemudian membuat konflik antara masyarakat adat dan perusahan pemilik konsesi HGU. AMAN mencatat saat ini ada 313 ribu hektare dari 9,6 juta hektare wilayah adat yang tumpang tindih dengan izin-izin konsesi HGU.
Dari jumlah tersebut, 152 komunitas adat yang tengah berkonflik atas kepemilikan lahannya. “Ini yang terpublikasi informasinya ke AMAN, tapi banyak yang sulit terjangkau,” kata Arman.
Dia juga menilai tertutupnya data HGU berpotensi menimbulkan celah korupsi. Mengutip data Walhi pada Desember 2017, ada tambahan 389,5 ribu izin HTI baru dua tahun lalu. Dari jumlah tersebut, 2.509 izin dinyatakan tidak clean and clear. Sementara 3.788 izin mati, namun tidak dikembalikan kepada negara. (red. JOS)
( Sumber, Kata Data)