Jambiotoritas.com, JAMBI – Jaksa kejaksaan tinggi Jambi, mengendus ketidak sesuaian penggunaan anggaran pada proyek Auditorium Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Syaifuddin (STS) Jambi, senilai Rp 35 Miliar. Proyek yang berada di Kampus UIN Desa Simpang Sungai Duren, Kecamatan Jaluko, Kabupaten Muarojambi itu ditenggarai, pecairan uang muka proyek ini tidak dipakai seutuhnya untuk mengerjakan proyek auditorium itu.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jambi, Lexy Paratani menyebutkan Tim Pidana Khusus sudah melakukan pemeriksaan sejumlah saksi pejabat teras UIN STS Jambi. Sejauh ini tim terus mengumpulkan data untuk menguak siapa saja aktor yang terlibat.
“ Kasus gedung yang dibagun tahun 2018 lalu. Pejabat teras UIN sudah dipanggil sebagai saksi, ” kata Lexy, dikutip dari laman jambilink.
Data yang diperoleh dilapangan, proyek ini dikerjakan PT Lambok Ulina. Dasarnya adalah Surat Keputusan rektor UIN STS Jambi, Hadri Hasan, sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Kemudian dari pada itu, Direktur Utama PT. Lambok Ulina, John Simbolon, memulai pekerjaan setelah terbit Surat Perintah Kerja yang diteken Hermantoni, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek itu. Dengan surat perjanjian dengan nomor 46-Un.15/PPK-SBSN/KU.01.2/06/2018. Sesuai kontrak, proyek diselesaikan paling lambat 208 hari kalender, terhitung sejak 7 Juni 2018 hingga 31 Desember 2018.
Sewaktu pekerjaan berlangsung, Direktur PT. Lambok Ulina mencairkan uang muka sebesar 20 persen atau sekitar Rp 7 Miliar. “ Dana yang dicairkan dipakai untuk keperluan lain senilai Rp 4,5 Miliar. Proyek hanya dapat dikerjakan sekitar 7 persen,” jelas Jaksa itu.
Kasak-kusuk terus meruncing. Dari sinilah kejanggalan bermula. F, salah satu pengawas proyek dari Dinas PUPR Provinsi Jambi, mengundurkan pada Agustus 2018. Langkah itu menyusul Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) Kejaksaan yang ‘kabur’ dari tim pengawas proyek.
Jaksa mulai ‘mencium’ ketidakberesan. Sesuai isi kontrak, pembayaran sebesar 25 Persen atau senilai Rp 7 Miliar itu, semestinya baru bisa dicairkan ketika proyek sudah mencapai 30 Persen. Sebagaimana hal ini tertuang di dalam draft perjanjian pada pasal 8.
Teguran sempat muncul dari Konsultan Pengawas Proyek, CV Reka Ruang Konsultan. Mereka menerbitkan surat teguran keras kepada PT Lambok Ulina tertanggal 19 November 2018. Isinya, ihwal hasil evaluasi dan monitoring proyek berdasarkan bobot realisasi Minggu ke 24 periode 12 November 2018 hingga 18 November 2018.
Hasilnya, realisasi pekerjaan proyek baru mencapai 15,044 Persen. Padahal, time skedulnya, harus sudah mencapai paling tidak 83,667 Persen. Sehingga terjadi deviasi 68,623 persen disaat waktu pengerjaan yang hanya tinggal 42 hari saja.
Alasan keterlambatan, seperti di dalam surat teguran itu, disebabkan karena kurangnya tenaga kerja, terlambatnya material dan jarang kerja lembur. Selain itu, sering tertundanya proses pengecoran. (red JOS
Sumber : Jambilink