TEBO, Jambiototritas.com – Anggaran penyediaan tempat penampungan sementara limbah medis B3 terhadap dua puluh pusat kesehatan masyarakat belum tersedia ditahun anggaran 2019. Namun pihak dinas kesehatan kabupaten Tebo belum menjalin komunikasi dengan badan perencanaan penelitian dan pengembangan daerah (Bappelitbangda) atau tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) kabupaten Tebo terkait solusi anggaran yang dibutuhkan.
” Belum ada komunikasi dinkes dengan Bappelitbagda. Soal keinginan menyiapkan anggaran pengadaan TPS limbah B3 puskesmas, ” kata sekretaris Bappelitbagda Tebo, Septiansyah, Kamis (7/2/2019).
Menurut dia, tahun ini anggaran sudah berjalan. Kalau sifatnya mendesak bisa diajukan pada APBD perubahan. ” Sesuai dengan permendagri bisa diakomodir melalui proses anggaran perubahan kalau diusulkan. Prosesnya akan diakomodir melaui TAPD dan apakah nanti bisa disetujui di banggar DPRD,” katanya.
Mungkin diperubahan nanti bisa disiasati dengan pengurangan kegiatan- kegiatan di OPD – OPD yang bisa dialihkan yang sifat tidak terlalu prioritas, misalkan ATK, perjalanan dinas. TAPD nanti bisa melihat realisasi anggaran per OPD.
” Saya kira bisa saja dikurangi. Selagi sesuai dengan aturan untuk pembangunan tebo, pasti kita dukung. Tapi kita harus pelajari dulu, pemaparan dari dinkes, seperti apa rencana biaya dan bentuk fisik TPS itu. Tapi kalau pihak dinkes bisa upayakan dana DAK, saat ini mungkin pusat tengah melakukan penyusunan anggaran 2020,” katanya.
Koordinasi DLH
Mengacu pada peraturan pemerintah (PP) No. 101 tahun 2014 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), lembaga medis rumah sakit, klinik, praktek dokter dan bidan diwajibkan mematuhi aturan tersebut. Terkait persoalan penanganan limbah B3 medis, pekan lalu, kepala dinas kesehatan kabupaten Tebo, Dr. Riana menyatakan sudah melakukan koordinasi dengan dinas lingkungan hidup.
Semua pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) harus melengkapi administrasi agar mendapatkan rekomendasi untuk perizinan pengelolaan lingkungan. Tidak hanya puskesmas saja, lembaga medis, hingga praktek dokter dan bidan juga dihimbau memgikuti aturan yang berlaku ini. Selanjutnya mempersiapkan tempat penampungan sementara (TPS) limbah medis dan menjalin kerjasama dengan pihak ketiga.
Pihak dinas lingkungan hidup kabupaten Tebo, Jambi menyatakan bahwa pemerintah kabupaten Tebo (dinas lingkungan hidup) selama ini hanya mengawasi lembaga yang sudah memiliki izin lingkungan dan dokumen pengelolaan lingkungan (DPLH). Untuk TPS memang belum ada yang menyiapkannya. Menurut kepala bidang pengendalian pencemaran, kerusakan dan penaatan lingkungan hidup, Deriansyah menyatakan puskesmas rawat inap wajib mengantongi DPLH, sementara dari sebelas puskesmas rawat inap baru Pukesmas Rimbo Bujang II dan Puskesmas IX Rimbo Ulu yang memiliki DPLH ini.
” Bagi puskesmas rawat inap, diwajibkan mengantongi DPLH. Terhadap yang belum, saat ini masih didata oleh pihak dinas kesehatan. Selain itu, bagi puskesmas non rawat inap yang kegiatannya sudah jalan tapi izin lingkungannya belum ada, harus membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan,” kata Deri, Rabu (6/2/2019).
Dikatakan Deri, berdasarkan PP 101 tahun 2014 tersebut. Tanpa terkecuali, seharusnya seluruh puskesmas dan lembaga swasta lain yang baru dibangun tapi belum ada dokumen UKL UPL, dan tidak memiliki TPS limbah B3 diwajibkan menyiapkan segala sesuatu yang menyangkut perizinan itu.
” Sementara ini, surat pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan SPPL untuk sebahagian puskesmas sudah ada. Bagi yang belum ada sama sekali izin untuk segera di urus izin UKL – UPLnya,” katanya.
Beberapa pihak swasta yang telah memiliki DPLH, diantaranya Klinik Gandi medika, klinik Permata Medika dan klinik Laras medika di Muara Tabir. Dua rumah sakit umum swasta Rimbo Medika center dan RSU Setia budi sudah memiliki TPS B3 dan bekerja sama dengan pihak ketiga.
” Sejak tahun 2018 lalu, terhadap lembaga medis yang sudah memiliki DPLH, dokumen UKL UPL dan SPPL terus diawasi komitmen pengelolaan lingkungannya. Jika ditemukan pelanggaran terhadap mereka bisa diberikan sanksi administrasi berupa teguran tertulis oleh bupati. Sambil pemerintah mempelajari secara hukum yuridis formalnya, pelanggaran apa yang terjadi,” katanya.(red/David Asmara)