Jambiotoritas.com, TEBO – Amanat peraturan presiden No. 18 tahun 2017 tentang penyelesaian dan penggunaan tanah dalam kawasan hutan diharuskan menjadi pedoman penyelesaian konflik agraria. Terlebih negara harus tetap menjaga lahan – lahan pertanian.
Aspirasi yang disampaikan massa forum keluarga besar petani Tebo terkait pelaksanaan penyelesaian tanah objek reforma agraria (TORA). Gugus tugas penyedia TORA kabupaten Tebo harus dibentuk.
” BPN Tebo sudah bersurat, intinya akan merapatkan untuk mendorong pembentukan gugus tugas TORA. Kendalanya selama ini adalah masalah koordinasi. Atas tanah yang dikuasai negara banyak kewenangan para pihak terhadap tanah itu,” kata Kasi Penyediaan dan pemanfaatan kantor pertanahan Tebo, Yuni Paturnawan pada dialog dengan pemerintah kabupaten Tebo bersama massa petani, (16/9/2019) di DPRD Tebo, kemarin.
Menurut dia, BPN bersama pemerintah kabupaten Tebo sebenarnya sudah bergerilya memberi legalisasi tanah negara yang sudah diserahkan ke petani mencapai 2000 sertipikat. Legalisasi itu dilakukan dengan program redistribusi BPN.
” Masalahnya sekarang pertanahan kabupaten Tebo kekurangan objek (tanah) yang mau dilegalisasi mencapai 4000, redistribusi 2000, Bahkan sesuai dengan kuota tahun 2019 ini Tebo dapat 11.000 sertipikat untuk program PTSL. Kami harus mencari objeknya,” katanya.
Sementara itu, kepala KPHP timur, dinas kehutanan provinsi Jambi, Joko Sutrisno menyatakan bahwa untuk melakukan proses pelepasan hutan (tanah) seperti aspirasi yang disampaikan tetapi berpedoman pada peraturan presiden (Perpres) No. 18 tahun 2017. Persoalannya penguasaan yang terjadi adalah seperti permukiman, munculnya fasilitas umum dan fasilitas sosial (sekolah, rumah ibadah). Dan lahan garapan untuk perkebunan sawit, karet, kopi dan lain – lain.
Menurut Joko bahwa program TORA harus tepat sasaran, subjek (pemohon) dan objeknya (tanah yang dimohonkan). Jadi harus jelas bagaimana kronologi perolehan tanah itu.
” Pemerintah hanya memberikan opsi hibah tanah yang dicadangkan untuk TORA. Dan pinjam pakai selama 35 tahun yang dikelola secara perhutanan sosial ataupun Hutan Tanaman Rakyat (HTR),” jelas Joko. (red JOS)
Penulis : David Asmara